rhisehat.com –Altitude Sickness atau penyakit ketinggian merupakan kondisi tidak normal yang terjadi pada tubuh ketika berada di tempat ketinggian dengan cepat. Pada ketinggian lebih dari 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), tekanan udara mulai menurun dan oksigen makin menipis. Itulah sebabnya, seseorang yang berada pada ketinggian ini harus memberikan waktu bagi tubuhnya untuk beradaptasi.
Penyakit ketinggian, juga disebut penyakit gunung akut (AMS), dapat menjadi keadaan darurat medis jika diabaikan. Usia, jenis kelamin, atau kebugaran fisik Anda tidak memengaruhi kemungkinan Anda terkena penyakit ketinggian. Juga, hanya karena Anda mungkin belum pernah memilikinya sebelumnya, ini tidak berarti Anda tidak akan mendapatkannya di perjalanan lain.
Altitude sickness atau mountain sickness terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung. Ada 3 jenis Altitude sickness.
– Acute mountain sickness (AMS), yaitu bentuk Altitude sickness yang paling ringan dan paling sering terjadi.
– High-altitude cerebral edema (HACE), yaitu penumpukan cairan di otak yang menyebabkan otak membengkak dan tidak berfungsi normal.
– High-altitude pulmonary edema (HAPE), yaitu penumpukan cairan di paru-paru yang menyebabkan gangguan fungsi organ tersebut. Edema paru ini bisa berkembang dari HACE atau terjadi dengan sendirinya.
Penyebab
Altitude sickness terjadi ketika seseorang berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Pada ketinggian tersebut, tekanan udara akan semakin menurun dan kadar oksigen makin berkurang. Bagi seseorang yang tidak terbiasa di ketinggian, tubuhnya perlu waktu untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut.
Gejala Altitude sickness muncul ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami Altitude sickness adalah:
– Tinggal di dataran rendah
– Pernah mengalami Altitude sickness sebelumnya
– Mendaki terlalu cepat (lebih dari 300 meter per hari)
– Jalur pendakian yang sulit dan membutuhkan banyak energi
– Menderita gangguan pada jantung, paru-paru, atau sistem saraf
Gejala
Gejala Altitude sickness biasanya muncul ketika seseorang berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Gejalanya bisa muncul bertahap atau tiba-tiba dengan tingkat keparahan ringan atau berat, tergantung pada kecepatan seseorang saat mendaki dan ketinggian yang dicapai.
Tanda dan gejala paling umum dari altitude sickness adalah:
– Sakit kepala
– Mual
– Muntah
– Sesak napas
– Kesulitan tidur
– Pusing
– Kelelahan
– Nafsu makan menurun
Gejala yang ada biasanya bertahan selama 6-48 jam setelah pendakian, Dalam beberapa kasus yang langka, altitude sickness dapat pula menyebabkan akumulasi cairan pada otak dan paru-paru (pulmonary edema and cerebral edema) yang bisa menyebabkan tanda dan gejala serius seperti:
– Terdengar suara seperti kertas yang ditarik saat bernapas.
– Kesulitan bernapas yang sangat parah.
– Batuk dengan cairan merah muda dan berbusa.
– Linglung dan kesulitan berjalan.
– Kebingungan yang dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
Gejala-gejala yang sudah disebutkan di atas menunjukkan status pasien yang telah menyentuh ambang kritis dan perlu segera ditangani oleh pegawai medis. Selain itu, masih terdapat juga beberapa ciri dan gejala yang tidak disebutkan di atas. Apabila Anda memiliki keluhan yang sama, tolong konsultasikan kepada dokter Anda.
Pertolongan Pertama
Segera turun atau bawa penderita yang mengalami gejala Altitude sickness ke ketinggian yang lebih rendah. Penting untuk diingat, jangan mencoba mendaki lebih tinggi lagi meskipun gejala yang dialami tergolong ringan.
Sambil membawa penderita turun ke ketinggian yang lebih rendah, langkah pertolongan pertama berikut ini dapat dilakukan untuk meredakan gejala Altitude sickness :
– Longgarkan pakaian penderita dan beri ruang yang cukup agar penderita bisa bernapas.
– Pastikan penderita minum banyak air putih agar tidak kekurangan cairan.
– Berikan paracetamol atau ibuprofen untuk mengatasi sakit kepala.
– Jangan memberikan minuman beralkohol atau obat tidur kepada penderita.
– Jika penderita sedang berada di gunung dan kondisinya tidak memungkinkan untuk turun, hubungi petugas evakuasi untuk membawa penderita turun.
Sambil menunggu pertolongan datang, jaga suhu tubuh penderita agar tetap hangat, batasi aktivitas fisik penderita dan biarkan ia beristirahat. Gunakan portable hyperbaric chamber (kantong udara portabel yang bertekanan tinggi) bila alat ini tersedia dan ada petugas yang terlatih menggunakannya.
Pencegahan Altitude Sickness
Jika Anda ingin mendaki gunung atau pergi ke dataran tinggi, sebisa mungkin ketahui dulu ketinggian daerah yang akan dikunjungi. Cari tahu juga apa saja gejala Altitude sickness yang bisa terjadi, beserta pertolongan pertamanya. Bila Anda menyadari gejala lebih awal dan gejala tidak hilang setelah 24 jam, segera turun ke ketinggian yang lebih rendah agar gejala tidak bertambah parah.
Cara terbaik untuk mencegah Altitude sickness adalah dengan aklimatisasi, yaitu memberikan waktu bagi tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi di ketinggian. Caranya adalah sebagai berikut:
– Lakukan pendakian secara bertahap, tidak lebih dari 300 meter per hari.
– Istirahat 1–2 hari tiap mendaki jarak 600 meter. Lakukan istirahat secara berkala jika mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 2.400 mdpl.
– Lakukan latihan yang cukup sebelum melakukan pendakian gunung dan pastikan Anda mampu dan sudah berlatih untuk menuruni gunung dengan cepat.
– Banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi dan makan makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi.
– Jangan merokok, jangan mengonsumsi minuman beralkohol atau berkafein, serta jangan menggunakan obat tidur saat mendaki gunung.
– Lakukan pemeriksaan kesehatan ke dokter sebelum melakukan pendakian gunung, terutama jika Anda belum memiliki pengalaman mendaki sebelumnya.
Aldokter. Altitude Sickness. Accessed on 2022
Hellosehat. Altitude Sickness. Accessed on 2022